Sabtu, 28 Juli 2012

Dialog Sore


Sore begitu teduh ditepi pelukan sang rimba. Hingga air seolah malas untuk menjadikan dirinya sebagai senja. “Bukan kenyataanku menjadi seperti itu.” katanya malas kepada kaki seorang pemuda di tepian danau. 

Si pemuda merelakan diri dalam belaian sore, membiarkan kakinya dijilati riak-riak air yang berkata malas sambil membiarkan air berlalu dan kembali ke danau untuk menjilatinya di lain kesempatan.

Sore itu menjadi waktu ketika alam menumpahkan perpisahan sebelum masuk ke dekapan mesra sang terang yang akan pergi.

 “Aku ingin beku bersama sore. Lalu mencair dalam realita yang lebih liar dari imajinasi ini..” sahut sang pemuda kepada air yang malas.

“Aku ingin menjadi air sepertimu. Bebas menjadi malas. Bebas berubah bentuk. Bebas merasuk. Bahkan bebas merusak!” Lanjut sang pemuda.

“Aku ingin kuat sepertimu. Tak menangis walau tercerai, tak kecewa walau disingkirkan, tak terkuasai walau dibelenggu. Aku terlalu muak akan realita yang imaji ini. Aku ingin cair sepertimu. Ingin memasuki lapisan tanah terbawah, terangkut oleh hijaunya tumbuhan, terlepas ke udara, lalu terjatuh entah di belahan dunia mana.” Harap sang pemuda.

“Aku bosan dengan kepura-puraan ini. Bosan menjadi manusia yang menata kenyataan. Bosan menyembunyikan harapan dalam rupa-rupa yang berupa. Aku ingin menyerahkan diri pada konsekuensi sepertimu. Tersinari untuk mencair, kedinginan untuk membeku, menurun untuk mengalir, lalu terpanaskan untuk menguap.” Pemuda itu terus berbicara, sang air mendekat, menjilati kakinya. Kali ini tanpa suara. Lalu pergi kembali.

“Aku rindu makna konsekuensi semacam itu. Bukan konsekuensi yang disebut takdir. Tanpa sebab, lalu tiba-tiba ada akibat. Aku ingin menjadi dirimu, Air. Sungguh aku ingin menjadi dirimu.” Teriak sang pemuda berusaha mengejar sang air yang menjauh.

Sang air kemudian menoleh lalu berkata, “Bukan kenyataanmu menjadi seperti itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar