Sore begitu teduh ditepi pelukan
sang rimba. Hingga air seolah malas untuk menjadikan dirinya sebagai senja. “Bukan
kenyataanku menjadi seperti itu.” katanya malas kepada kaki seorang pemuda di tepian
danau.
Si pemuda merelakan diri dalam
belaian sore, membiarkan kakinya dijilati riak-riak air yang berkata malas sambil
membiarkan air berlalu dan kembali ke danau untuk menjilatinya di lain kesempatan.
Sore itu menjadi waktu ketika
alam menumpahkan perpisahan sebelum masuk ke dekapan mesra sang terang yang
akan pergi.
“Aku ingin beku bersama sore. Lalu mencair
dalam realita yang lebih liar dari imajinasi ini..” sahut sang pemuda kepada
air yang malas.
“Aku ingin menjadi air sepertimu.
Bebas menjadi malas. Bebas berubah bentuk. Bebas merasuk. Bahkan bebas merusak!”
Lanjut sang pemuda.
“Aku ingin kuat sepertimu. Tak
menangis walau tercerai, tak kecewa walau disingkirkan, tak terkuasai walau
dibelenggu. Aku terlalu muak akan realita yang imaji ini. Aku ingin cair
sepertimu. Ingin memasuki lapisan tanah terbawah, terangkut oleh hijaunya
tumbuhan, terlepas ke udara, lalu terjatuh entah di belahan dunia mana.” Harap sang
pemuda.
“Aku bosan dengan kepura-puraan
ini. Bosan menjadi manusia yang menata kenyataan. Bosan menyembunyikan harapan dalam
rupa-rupa yang berupa. Aku ingin menyerahkan diri pada konsekuensi sepertimu.
Tersinari untuk mencair, kedinginan untuk membeku, menurun untuk mengalir, lalu
terpanaskan untuk menguap.” Pemuda itu terus berbicara, sang air mendekat,
menjilati kakinya. Kali ini tanpa suara. Lalu pergi kembali.
“Aku rindu makna konsekuensi
semacam itu. Bukan konsekuensi yang disebut takdir. Tanpa sebab, lalu tiba-tiba
ada akibat. Aku ingin menjadi dirimu, Air. Sungguh aku ingin menjadi dirimu.” Teriak
sang pemuda berusaha mengejar sang air yang menjauh.
Sang air kemudian menoleh lalu
berkata, “Bukan kenyataanmu menjadi seperti itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar