Kamis, 09 September 2010

Lokal (?)

“Maaf mas, dia gak mau lepas kalau ke orang lokal!” saya tersenyum. Yaa, jawaban itu! Seember es dan sebakul cabai terasa membungkus hatiku. Bila dapat dilihat mungkin hatiku pun tersenyum, senyum penuh kepalsuan dan imajinasi akan jawaban mengapa republik ini pernah dijajah dan diseleweng oleh bangsa yang mungkin bila global warming semakin menjadi akan tenggelam karena letaknya yang di bawah 0 dpl.

Jawaban itu saya terima di sebuah pulau yang disebut orang sebagai pulau dewata. Pulau dengan kebanggaan karena telah berulang kali menjadi pulau tebaik di dunia. Pulau dengan kebanggaan karena lebih dikenal daripada nama Indonesia, tempat di mana ia terletak. Penghargaan global telah membawanya menjadi masyarakat global. Masyarakat dengan pandangan dan pedoman yang mampu membaurkan antara budaya lokal dan budaya internasional yang entah oleh siapa pertama kali dibawa, namun mampu merasuk hingga mempengaruhi keseharian mayarakat itu sendiri.

Kembali pada kisah di atas, jawaban itu saya terima saat saya ingin menyewa motor. Dan jawaban singkat, mengena, padat, dan sangat jelas itu memberiku gambaran mengenai pandangan hubungan sederajat antar putera ibu pertiwi. Ibu yang melahirkan dan membesarkan kita dalam naungan 5 nilai dasar yang tidak mengkotak-kotakkan, tidak menggarisbawahi salah satu, dan tidak memprioritaskan salah satu kearifan lokal. Sang ibu ternyata mempunyai banyak anak yang berteman dengan tetangga dari jauh bernama kotak, garis, dan ketidakbijaksanaan atas nama untung-rugi dan bisnis. Tidak adil memang bila saya tidak mengungkap alasan dibalik mengapa saya di tolak atas nama orang lokal. Alasannya cukup sederhana bila, karena orang lokal (WNI) yang meminjam motor seringkali berbuat seenaknya. Membawanya pergi jauh tanpa memberitahu. Meninggalkanya disuatu tempat karena kehabisan bensin di jalan, dan tanpa munafik yang perlu disembunyikan karena bila orang asing yang menyewa harga sewaannya akan lebih tinggi, serta berbagai berita negatif lainnya yang bisa dibuat sebagai obat penawar dan buah pengetahuan mengapa saya ditolak atas nama orang lokal.

Tetapi dibalik itu semua saya memandang suatu titik pergolakan bernama jenjang, garis, dan pembuangan. Jenjang dan garis karena seorang anak dari ibu pertiwi meminjam kata stratifikasi sosial sebagai kata diferensiasi sosial. Seperti sebuah tangga yang dipaksakan menjadi lantai. Sebuah keadaan meninggikan orang lain karena SARA-nya yang dikamuflasekan oleh untung-rugi dan pertimbangan bisnis. Apa semua orang lokal itu tidak bertanggungjawab? Apa semua orang lokal itu membawa kerugian? Apa semua orang lokal itu bermental maling? Dan orang yang kita sebut bule itu tidak memiliki cacat? Lihat sekeliling anda saat anda di tanah ibu anda! Apa mereka lebih tinggi derajatnya karena warna kulitnya? Tidak karena semua berwarna kulit sama. Lalu lihat saat anda di tanah ibu orang lain? Apa mereka lebih tinggi derajatnya karena warna kulitnya? Bila anda mendengar kata iya maka itulah poin yang saya tuju. Poin mengapa penolakan akan orang lokal seperti saya terjadi. Karena tangga dijadikan lantai, lalu dibawa ke tukang untuk dipasang keramik bernama kamuflase sebagai kewajaran.

Saya anak ibu pertiwi, anda anak ibu pertiwi, kita semua sama, kita semua beda. Beda adalah sama bila diletakkan tanpa perbandingan. Maka tidaklah kita perlu menghancurkan nama ibu kita dengan perilaku tak bertanggungjawab. Tidaklah perlu menghina politik bangsa ini bila anda mencintai bangsa ini. Ambil bagianlah dalam politik tanpa perlu menjadi politisi, sebab politik pada dasarnya adalah ilmu dengan cara terprogram dan terefektif untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Entah di mana anda, siapa anda, jangan pernah menunggu. Ratu adil tidak pernah datang! Tapi tumbuh dari perut ibu pertiwi dan andalah orangnya! Bila anda melihat ibu pertiwi sudah hancur, jangan tambahi kehancurannya. Saya menulis tulisan ini atas dasar kemirisan dan akumulasi kebobrokkan manusia sebagai satuan terkecil masyarakat. Kita telah sampai pada titik saling curiga, saling mengawasi, dan selangkah lagi sampai titik saling mencakup dan menghancurkan. Kita disebut ibu pertiwi karena memiliki kaki bernama kepercayaan, badan bernama keinginan, tangan bernama kebersamaan, kepala bernama kesadaran, dan digerakkan oleh jantung bernama perjuangan. Jangan berkamuflase dan memisahkan karena ibu pertiwi akan mati bila terjadi! Jangan berhenti berjuang atasnama jantung ibu kita karena ibu pertiwi akan mati bila terjadi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar