Kamis, 16 September 2010

Pejuang

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah novel fiksi yang mungkin saja bukan fiksi. Sebuah novel unik yang berjudul "RIPTA. Perjuangan Tentara Pecundang" karangan Anita Kastubi. Belum seluruh bab saya baca dari novel unik ini. Tetapi dilihat dari pengambilan sudut pandang dan pembahasaannya ada beberapa hal yang sungguh menarik untuk saya tulis dari perspektif saya.
***

Nyatria pinandita, sebuah falsafah Jawa yang menyatakan seseorang yang menyebut dirinya ksatria (dalam konteks ini seorang yang besar dan dihormati banyak orang) haruslah seseorang yang berjiwa pendeta (arif, bijak, dan mampu menjadi seorang teladan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsep perilaku seperti itu sungguh luas, tidak sempit dan bertabrakan dengan makna perspektif masing" orang. Pemaknaan dalam falsafah ini seolah sudah mempunyai "takaran" yang pasti mengenai maknanya. yaitu seseorang yang akan lepas dari hal duniawi dan tidak menggantungkan hidupnya kepada semat, derajat, kramat, dan hormat.

Mungkin terkesan aneh dan janggal untuk dirasa. Tetapi ini semua lebih dari sebuah rasa. Ini soal karya dan karsa. Menjadikan manusia lebih manusiawi dengan sentuhan kebudayaan. Keempat kata anak-beranak yang beruntun dan berima di atas memiliki makna yang magis. Magis karena tidak tahu berasal darimana, tetapi diterima seperti iman, dan dikejar sekuat tenaga walau belum tahu akan ada ujungnya atau tidak.

Lalu kita lihatlah sosok pemimpin idaman kita didalam falsafah nyatria pinandita. Saya tidak mau banyak mengomentari relevansinya dengan kenyataan sekarang ini. Relevansinya mengenai kehidupan berkepemimpinan, relevansinya dengan keempat hal yang harusnya dihindari, dan relevansinya dengan semangat "Lanjutkan!!" yang setahun lalu diumbar oleh seseorang. Yaa, perjuangan tentara pecundang merupakan judul yang tepat untuk dasar falsafah itu.

Semat, derajat, kramat, dan hormat merupakan bentuk nyata dan metamorfosa dari apa yang kerap disebut kejayaan. Keempatnya merupakan hasil persekutuan luar biasa dengan kekuatan magis yang telah saya singgung di atas. tanpa keempatnya manusia modern disebut pecundang dan kaum tersingkirkan. Tetapi sekali lagi ini bukan soal rasa, tetapi soal karya dan karsa. Perjuanganlah yang akhirnya menentukan apa kita menjadi pecundang atau tidak. Tanpa disadari pula dengan terus berjuang maka tidak ada istilah gagal. Gagal hanya akan datang saat kita berhenti berjuang. Berjuang untuk menjadi pejuang.

Berjuang menjadi pejuang adalah hal terakhir yang saya bicarakan ditulisan ini. Seolah kalimat ini tidak bermakna, tetapi harus disadari bahwa satu-satunya cara menjadi pejuang adalah berjuang. Keempat hal yang diidam-idamkan manusia yg hanya merasa, bukan berkarya dan berkarsa, akan datang dengan sendirinya. Berjuang, perjuangan, dan menjadi pejuanglah cara dan sarana mencapai keempatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar