Sabtu, 04 Desember 2010

Jingle

Siang itu Jogja memang sangat panas, kondisi yang kondusif untuk ngobrol panjang lebar sembari menunggu awan menutupi sang mentari. Diselingi canda dan tawa kami bicara mengenai banyak hal. Hal penting maupun tidak penting (jujur, kebanyakan tidak pentingnya). Obrolan itu terjadi disebuah warung makan. Modal kami siang itu untuk ngobrol hanya 2, yaitu sedikit uang untuk makan (tentu tanpa pesan minum, sebab ada air putih yang gratis..) dan muka tebal saat pelayan ngalor-ngidul berusaha mengusir kami. Ada satu topik yang ingin saya angkat dari obrolan itu. Jingle. Yaa, beberapa rentetan nada dan beberapa patah kata yang mewakili suatu produk (biasanya di-iklan).

Jingle adalah sebuah representasi sebuah produk guna membuat setiap orang ingat akan produk itu. Entah bagaimana cara kerjanya tapi jingle menjadi satu alat yang efektif. Tak terhitung sudah berapa banyak jingle yang “diklaim” mewakili sebuah produk di dunia. Dalam kancah per-susu-an saja tentu anda ingat dengan “Susu saya susu bendera..” , “Aku dan kau suka dancow”, “susu murni nasional”, hingga jingle yang mungkin sedikit menganggap orang kita bodoh yaitu “yang penting enak..”. Itu baru dunia per-susu-an dengan jingle-jinglenya.

Ada pula produk yang membuat jingle tanpa lirik. Di barisan terdepan saya ingat ada jingle es krim wall’s dengan nadanya yang sangat familiar. Sampai sekarang saya masih suka es krim wall’s . ada 2 alasan mengapa saya suka membelinya. Waktu kecil saya suka membeli karena “termakan” nadanya yang bagus. Dulu saya sampai iri kepada abang-abang yang menjual es krim itu, saya sering membayangkan pastilah abang itu tidurnya sangat nyenyak sambil tersenyum karena terngiang-ngiang bunyi itu. Tetapi sekarang saya merasa kasihan kepada abangnya, bisa dibayangkan sepanjang hari mendengar bunyi itu sampai terbawa ke mimpi. Maka kalaupun saya membeli es krim keliling itu sekedar untuk mengobati kuping si abang yang pasti sama soaknya dengan toak kecil di atas gerobak sepedanya itu.

Setelah saya pikir-pikir bukan produk besar saja yang mempunyai “jingle”. Produk kecil yang dijajakan secara keliling juga memiliki jingle untuk merepresentasikan produknya. Misalnya tukang minyak dengan “mi-NYAKKKK(baca: “mi” lesap dan “nyakkk”-nya dengan nada dari rendah ke tinggi), begitu juga dengan tukang sol sepatu dengan “sol-spatukk..”, ada pula tukang bakso, siomay, dan nasi goreng yang mempunyai jingle-nya masing-masing dengan ketokannya kepada piring atau wajan dengan tempo yang berbeda, atau bahkan tukang tape uli (tape dari ketan yang dibungkus daun pisang) yang sering saya insengi waktu kecil dulu. Bila saya sedang bermain di lapangan lalu ada tukang tape uli berteriak, “tape uli... tape uli...” maka kami anak-anak badung ini kompak berteriak melanjutkan “capek-capek gak ada yang beli..” dan sejurus kemundian lari menghambur menyelamatkan diri dari omelan abang penjualnya.

Yaa, itulah jingle. Perlu analisis dari pakar komunikasi secara mendalam untuk mengetahui siapa biang keladi dibalik pembuatannya. Dari tradisional hingga modern, ada keunikan tersendiri. Terlebih untuk pada jingle-ers tradisional (sol sepatu, minyak, dan nasgor) seolah-olah ada konsensus di antara mereka sehingga dari daerah ke daerah jingle-nya hampir sama. Ada bentuk komunikasi yang unik dan mampu merasuki pikiran konsumen tanpa ada perempuan molek untuk berdiri di samping produk (seperti di pameran mobil). Itulah iklan terefektif menurut saya. Saat produk sampai dan terngiang-ngiang tanpa sadar oleh para konsumennya. Jadi itulah saya dengan jingle-jingle kenangan saya.

Bagaimana dengan anda? Apa jingle favorit anda? Dan apa jingle hidup anda untuk diteruskan ke generasi selanjutnya? Semoga saja bukan jingle yang akan terlupakan, tapi abadi dan bertahan di setiap pergolakan jaman. Seperti jingle minyak yang selalu bertahan walau minyak sudah dikonversi ke tabung gas.

Kamis, 16 September 2010

Pejuang

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah novel fiksi yang mungkin saja bukan fiksi. Sebuah novel unik yang berjudul "RIPTA. Perjuangan Tentara Pecundang" karangan Anita Kastubi. Belum seluruh bab saya baca dari novel unik ini. Tetapi dilihat dari pengambilan sudut pandang dan pembahasaannya ada beberapa hal yang sungguh menarik untuk saya tulis dari perspektif saya.
***

Nyatria pinandita, sebuah falsafah Jawa yang menyatakan seseorang yang menyebut dirinya ksatria (dalam konteks ini seorang yang besar dan dihormati banyak orang) haruslah seseorang yang berjiwa pendeta (arif, bijak, dan mampu menjadi seorang teladan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsep perilaku seperti itu sungguh luas, tidak sempit dan bertabrakan dengan makna perspektif masing" orang. Pemaknaan dalam falsafah ini seolah sudah mempunyai "takaran" yang pasti mengenai maknanya. yaitu seseorang yang akan lepas dari hal duniawi dan tidak menggantungkan hidupnya kepada semat, derajat, kramat, dan hormat.

Mungkin terkesan aneh dan janggal untuk dirasa. Tetapi ini semua lebih dari sebuah rasa. Ini soal karya dan karsa. Menjadikan manusia lebih manusiawi dengan sentuhan kebudayaan. Keempat kata anak-beranak yang beruntun dan berima di atas memiliki makna yang magis. Magis karena tidak tahu berasal darimana, tetapi diterima seperti iman, dan dikejar sekuat tenaga walau belum tahu akan ada ujungnya atau tidak.

Lalu kita lihatlah sosok pemimpin idaman kita didalam falsafah nyatria pinandita. Saya tidak mau banyak mengomentari relevansinya dengan kenyataan sekarang ini. Relevansinya mengenai kehidupan berkepemimpinan, relevansinya dengan keempat hal yang harusnya dihindari, dan relevansinya dengan semangat "Lanjutkan!!" yang setahun lalu diumbar oleh seseorang. Yaa, perjuangan tentara pecundang merupakan judul yang tepat untuk dasar falsafah itu.

Semat, derajat, kramat, dan hormat merupakan bentuk nyata dan metamorfosa dari apa yang kerap disebut kejayaan. Keempatnya merupakan hasil persekutuan luar biasa dengan kekuatan magis yang telah saya singgung di atas. tanpa keempatnya manusia modern disebut pecundang dan kaum tersingkirkan. Tetapi sekali lagi ini bukan soal rasa, tetapi soal karya dan karsa. Perjuanganlah yang akhirnya menentukan apa kita menjadi pecundang atau tidak. Tanpa disadari pula dengan terus berjuang maka tidak ada istilah gagal. Gagal hanya akan datang saat kita berhenti berjuang. Berjuang untuk menjadi pejuang.

Berjuang menjadi pejuang adalah hal terakhir yang saya bicarakan ditulisan ini. Seolah kalimat ini tidak bermakna, tetapi harus disadari bahwa satu-satunya cara menjadi pejuang adalah berjuang. Keempat hal yang diidam-idamkan manusia yg hanya merasa, bukan berkarya dan berkarsa, akan datang dengan sendirinya. Berjuang, perjuangan, dan menjadi pejuanglah cara dan sarana mencapai keempatnya.

Kamis, 09 September 2010

Lokal (?)

“Maaf mas, dia gak mau lepas kalau ke orang lokal!” saya tersenyum. Yaa, jawaban itu! Seember es dan sebakul cabai terasa membungkus hatiku. Bila dapat dilihat mungkin hatiku pun tersenyum, senyum penuh kepalsuan dan imajinasi akan jawaban mengapa republik ini pernah dijajah dan diseleweng oleh bangsa yang mungkin bila global warming semakin menjadi akan tenggelam karena letaknya yang di bawah 0 dpl.

Jawaban itu saya terima di sebuah pulau yang disebut orang sebagai pulau dewata. Pulau dengan kebanggaan karena telah berulang kali menjadi pulau tebaik di dunia. Pulau dengan kebanggaan karena lebih dikenal daripada nama Indonesia, tempat di mana ia terletak. Penghargaan global telah membawanya menjadi masyarakat global. Masyarakat dengan pandangan dan pedoman yang mampu membaurkan antara budaya lokal dan budaya internasional yang entah oleh siapa pertama kali dibawa, namun mampu merasuk hingga mempengaruhi keseharian mayarakat itu sendiri.

Kembali pada kisah di atas, jawaban itu saya terima saat saya ingin menyewa motor. Dan jawaban singkat, mengena, padat, dan sangat jelas itu memberiku gambaran mengenai pandangan hubungan sederajat antar putera ibu pertiwi. Ibu yang melahirkan dan membesarkan kita dalam naungan 5 nilai dasar yang tidak mengkotak-kotakkan, tidak menggarisbawahi salah satu, dan tidak memprioritaskan salah satu kearifan lokal. Sang ibu ternyata mempunyai banyak anak yang berteman dengan tetangga dari jauh bernama kotak, garis, dan ketidakbijaksanaan atas nama untung-rugi dan bisnis. Tidak adil memang bila saya tidak mengungkap alasan dibalik mengapa saya di tolak atas nama orang lokal. Alasannya cukup sederhana bila, karena orang lokal (WNI) yang meminjam motor seringkali berbuat seenaknya. Membawanya pergi jauh tanpa memberitahu. Meninggalkanya disuatu tempat karena kehabisan bensin di jalan, dan tanpa munafik yang perlu disembunyikan karena bila orang asing yang menyewa harga sewaannya akan lebih tinggi, serta berbagai berita negatif lainnya yang bisa dibuat sebagai obat penawar dan buah pengetahuan mengapa saya ditolak atas nama orang lokal.

Tetapi dibalik itu semua saya memandang suatu titik pergolakan bernama jenjang, garis, dan pembuangan. Jenjang dan garis karena seorang anak dari ibu pertiwi meminjam kata stratifikasi sosial sebagai kata diferensiasi sosial. Seperti sebuah tangga yang dipaksakan menjadi lantai. Sebuah keadaan meninggikan orang lain karena SARA-nya yang dikamuflasekan oleh untung-rugi dan pertimbangan bisnis. Apa semua orang lokal itu tidak bertanggungjawab? Apa semua orang lokal itu membawa kerugian? Apa semua orang lokal itu bermental maling? Dan orang yang kita sebut bule itu tidak memiliki cacat? Lihat sekeliling anda saat anda di tanah ibu anda! Apa mereka lebih tinggi derajatnya karena warna kulitnya? Tidak karena semua berwarna kulit sama. Lalu lihat saat anda di tanah ibu orang lain? Apa mereka lebih tinggi derajatnya karena warna kulitnya? Bila anda mendengar kata iya maka itulah poin yang saya tuju. Poin mengapa penolakan akan orang lokal seperti saya terjadi. Karena tangga dijadikan lantai, lalu dibawa ke tukang untuk dipasang keramik bernama kamuflase sebagai kewajaran.

Saya anak ibu pertiwi, anda anak ibu pertiwi, kita semua sama, kita semua beda. Beda adalah sama bila diletakkan tanpa perbandingan. Maka tidaklah kita perlu menghancurkan nama ibu kita dengan perilaku tak bertanggungjawab. Tidaklah perlu menghina politik bangsa ini bila anda mencintai bangsa ini. Ambil bagianlah dalam politik tanpa perlu menjadi politisi, sebab politik pada dasarnya adalah ilmu dengan cara terprogram dan terefektif untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Entah di mana anda, siapa anda, jangan pernah menunggu. Ratu adil tidak pernah datang! Tapi tumbuh dari perut ibu pertiwi dan andalah orangnya! Bila anda melihat ibu pertiwi sudah hancur, jangan tambahi kehancurannya. Saya menulis tulisan ini atas dasar kemirisan dan akumulasi kebobrokkan manusia sebagai satuan terkecil masyarakat. Kita telah sampai pada titik saling curiga, saling mengawasi, dan selangkah lagi sampai titik saling mencakup dan menghancurkan. Kita disebut ibu pertiwi karena memiliki kaki bernama kepercayaan, badan bernama keinginan, tangan bernama kebersamaan, kepala bernama kesadaran, dan digerakkan oleh jantung bernama perjuangan. Jangan berkamuflase dan memisahkan karena ibu pertiwi akan mati bila terjadi! Jangan berhenti berjuang atasnama jantung ibu kita karena ibu pertiwi akan mati bila terjadi!