Minggu, 16 Juni 2013

Malam

Jakarta adalah metronom kegilaan nasional. Saat kota lain masih mencari cacing di tepi sungai, Jakarta telah bertemu kemacetan yang mengular. Saat daerah lain hanya mampu bertemu rindu dengan aspal di bandara, Jakarta sudah bosan dengan aspal dan mulai menanam pohon pisang di antara aspal yang berlubang. Jakarta adalah anomali. Jakarta keras? Mungkin saja. Tetapi Jakara juga lunak, penuh pengertian, dan tumbuh secara organik tanpa sekat birokrasi yang melilit. Simsalabim, ini bukan sulap, Jakarta memang pengertian bagi isinya; formal – informal tak ada beda. Dalam kamus Jakarta semua obat tak ada yang seampuh “pengertian”, dan wow.. saya terpukau bahwa ibu kota ini penuh pengertian. Lalu saya pun lebih tercekat lagi bahwa itu – setidaknya salah satu dari banyak – kesimpulan dari diskusi berjudul “Kehidupan Malam Jakarta” oleh Jerome di Salihara beberapa hari yang lalu.

Jerome secara singkat membagi pemaparannya dalam tiga bagian, cara pemaparan yang menurutnya sangat Prancis sekali. Bagian pertama tentang apa itu “malam”. Kedua tentang data. Ketiga tentang analisis. Lupakan sejenak yang kedua dan yang ketiga. Data dan analisis adalah makanan yang hambar tanpa bagian pertama yang mengasyikkan itu. Bukankah yang pertama sering kali lebih dikenang? Jerome yang sangat Prancis itu ternyata mampu (setidaknya buat saya) menyadarkan bagaimana masyarakat Jakarta bercermin pada sesuatu yang salah. Mungkin saja saat ini cermin itu buram atau sedang dipinjam oleh tukang  cukur rambut. Apapun itu ia menyodorkan kaca yang lebih jernih. Sehingga saya bisa melihat tumbuhnya jerawat – hal remeh yang sebelumnya tak pernah diberi alokasi untuk dipermasalahkan.

Jerawat itu adalah malam. Yaa.. Jerome bicara tentang “malam”. Satu hal yang ada; dilewati tapi dilewatkan. Malam menjadi semacam misteri, seperti jerawat yang entah muncul darimana. Di dekat ekuator ini, malam tak berdiri. Mungkin ia duduk, terlentang, atau berbaring melintangi ragam cerita. Di sini, malam adalah gelap dan gelap adalah malam. Gelap adalah misteri, maka malam juga misteri.
Ketika hari dibagi dua, terang dan gelap. Ketika batas tidak bias, seperti anak yang dipanggil dari mainnya oleh sayup-sayup adzan maghrib. Batas itu jelas, seketika misteri dipertegas. Bila terang dan gelap adalah materi yang niscaya, mungkin siang dan malam adalah persepsi. Mungkin bisa juga disebut diskursus, wacana, atau istilah apapun yang dapat kau temukan..

Malam adalah waktunya kontrak damai dipenuhi. Selama pelajur jalanan dapat berguling mesra dengan aparat yang keparat, selama pedagang masih bisa diperah oleh mereka yang berkuasa, dan selama obat-obatan dapat diundi di meja perjudian, maka “pengertian” masih ada. Sama-sama tahu, lalu sama-sama menjadi  (sok) tak tahu. Semuanya dimulai bersamaan dengan dimatikannya matahari.  Kehadiran cahaya lampu-lampu minyak di warung menjadi ikrar perdamaian dengan misteri. Misteri yang terus dipelihara untuk menjadi misteri.

Bila misteri identik dengan gelap, bukankah gelap pun teman peristirahatan dalam malam? Lalu apa itu malam ketika dirinya bukan sekedar gelap dan misteri? Malam di sini bukan malam di desa maupun di Eropa, ketika toko-toko tutup tepat waktu, ketika orang-orang pulang ke rumah setelah memeras keringat seharian, bukan pula ketika lonceng batas jam malam dibunyikan. Lalu apa itu malam? Kalau benar malam itu gelap, bukankah itu naïf? Senaif kita yang rindu malam dan terpejam untuk bertemu malam?

Saya limbung tentang kata ini, “malam”. Saya sebatas tahu malam adalah persepsi yang misterius. Namun saya beruntung. Oleh manusia misteri dicintai. Dipelihara melalui opini dan saksi. Lesap dan lenyap, terbang menjauhi manusia. Dibuat manusia namun kini membuat manusia. Tak berani keluar ketika malam? Tak berani naik angkot ketika malam? Tak berani kencing sendiri ketika malam? Sekali lagi malam adalah rumah misteri. Tak perlu dingkari, bukankah kini gelap dan misteri milik malam justru diisi?

Dalam persepsi tentang malam yang mengancam, lampu dan kentongan menjadi penawar. Pengaman visual dan eksistensi yang ditebar. Tak cukup tentang rasa aman dalam terang, bubuhan kehadiran dilakoni dalam bebunyian. Gelap, malam, dan ancaman, tak semata-mata tentang penglihatan, tapi juga tentang kehadiran diri.

Lalu.. apa itu malam?

Dalam perjalanan pulang dari Salihara, saya bertanya pada supir taxi yang mengantar tentang malam. Jawabnya..

“Lebih enak malam, lebih adem, lebih santai”

Saya terdiam, memikirkan semua tentang malam yang mengancam, yang gelap, dan yang misterius. Namun yang muncul justru malam yang santai.

Ingin terus saya kejar jawaban supir taxi itu. Tetapi ada keengganan yang menghentikan kegilaan ditepi kerongkongan. Saya hanya mengangguk tanpa tahu apa yang disetujui, tersenyum kecil tanpa tahu apa yang lucu, dan kemudian... bingung.

Sabtu, 28 Juli 2012

Dialog Sore


Sore begitu teduh ditepi pelukan sang rimba. Hingga air seolah malas untuk menjadikan dirinya sebagai senja. “Bukan kenyataanku menjadi seperti itu.” katanya malas kepada kaki seorang pemuda di tepian danau. 

Si pemuda merelakan diri dalam belaian sore, membiarkan kakinya dijilati riak-riak air yang berkata malas sambil membiarkan air berlalu dan kembali ke danau untuk menjilatinya di lain kesempatan.

Sore itu menjadi waktu ketika alam menumpahkan perpisahan sebelum masuk ke dekapan mesra sang terang yang akan pergi.

 “Aku ingin beku bersama sore. Lalu mencair dalam realita yang lebih liar dari imajinasi ini..” sahut sang pemuda kepada air yang malas.

“Aku ingin menjadi air sepertimu. Bebas menjadi malas. Bebas berubah bentuk. Bebas merasuk. Bahkan bebas merusak!” Lanjut sang pemuda.

“Aku ingin kuat sepertimu. Tak menangis walau tercerai, tak kecewa walau disingkirkan, tak terkuasai walau dibelenggu. Aku terlalu muak akan realita yang imaji ini. Aku ingin cair sepertimu. Ingin memasuki lapisan tanah terbawah, terangkut oleh hijaunya tumbuhan, terlepas ke udara, lalu terjatuh entah di belahan dunia mana.” Harap sang pemuda.

“Aku bosan dengan kepura-puraan ini. Bosan menjadi manusia yang menata kenyataan. Bosan menyembunyikan harapan dalam rupa-rupa yang berupa. Aku ingin menyerahkan diri pada konsekuensi sepertimu. Tersinari untuk mencair, kedinginan untuk membeku, menurun untuk mengalir, lalu terpanaskan untuk menguap.” Pemuda itu terus berbicara, sang air mendekat, menjilati kakinya. Kali ini tanpa suara. Lalu pergi kembali.

“Aku rindu makna konsekuensi semacam itu. Bukan konsekuensi yang disebut takdir. Tanpa sebab, lalu tiba-tiba ada akibat. Aku ingin menjadi dirimu, Air. Sungguh aku ingin menjadi dirimu.” Teriak sang pemuda berusaha mengejar sang air yang menjauh.

Sang air kemudian menoleh lalu berkata, “Bukan kenyataanmu menjadi seperti itu.”

Kamis, 05 Juli 2012

Makhluk beridentitas ganda..

Haloo ternyata udah lama gw gak nulis di blog ini. Entah kenapa setelah gw telisik dan gemerusuk mengitari gang-gang di blog gw yang masih sepi ini, gw merasa gw di tulisan itu rada beda dengan gw yang asli. Yang cablak, yang ngaco kalo ngomong, yang suka-suka, yang ganteng, caem, dan narsis-narsis songong. Hehe.. Tapi yaa gak kenapa-kenapa kali yaa. Anggap saja gw memiliki banyak identitas. Kadang bisa serius, kadang bisa ngaco, kadang bisa ganteng. Ehh yang terakhir itu gak kadang-kadang deng, mutlak mungkin yaa. Anyway, ngomong-ngomong soal identitas yang banyak itu, gw jadi keingetan dosen gw yang ngoceh tentang identitas ganda, tripel, quartet, panca, atau seterusnya itu lah. Gw itu kuliah dengan subject mendalami kehidupan manusia. Emang kalo dipikir-pikir rada gak penting sih. Memperhatikan orang bicara, tingkah lakunya, hubungannya sama keluarga, mikirin soal negara (Padahal negara aja gak mikiran gw. Setuju? Halleluya!!), mikirin soal kehidupan manusia di kolong langit dan diatas tanah yang bisa dipijak itu-lah pendidikan yang gw dalami. Bahasa Latin-nya sih SOSIOLOGI! Gimana? Keren gak tuh? SOCIO yang artinya MASYARAKAT; LOGOS yang artinya ILMU. ILMU MASYARAKAT, anggaplah begitu.

Nah balik lagi soal identitas gw yang ganda, tripel, dst itu. Jadi dosen gw pernah menjelaskan kalau sebenarnya manusia itu identitasnya gak cuma satu. Bisa 2,3,4 Dji Sam Soe!! Hehehe.. Gw lupa ini pemikiran siapa, tapi gak gitu penting juga kan ini pemikiran siapa? Paling-paling nanti juga lu lupa kaya gw. Percaya deh, hal yang selalu dikenang itu adalah apa yang ditinggalkan, bukan siapa yang meninggalkan. Iya tak? Itu sebabnya gak semua orang tahu siapa penemu bola. Siapa penemu bola itu gak penting! Sama sekali gak penting, (penting sih, dikit aja tapi yaa) yang terpenting sekarang miliyaran orang nongkrong di depan TV buat nontonin tuh bola. Ehh kok malah ngomongin bola,balik ke identitas, jadi kita tuh sebenarnya punya (baca: dibentuk) banyak identitas. Identitas itu dibuat sama semua orang! Dikenal atau enggak, dipercaya atau enggak, disadari atau enggak. Misalnya aja gw. Identitas gw ada banyak. Gw orang Indonesia, Jawa, Cina, mahasiswa, pelajar, anak muda, ganteng (teteuup), Katolik, traveller, dll yang masih banyak dan gw gak bisa sebutkan satu per satu.

Kenapa identitas kita punya banyak identitas? Karena kita gak cuma hidup di dunia yang satu dimensi saja. Ada banyak dimensi. Dari yang nyata sampai yang gaib. Identitas itu istilah kerennya terbagi-bagi jadi beberapa layer. MULTI LAYER IDENTITY. Saat kita ada di satu dimensi kita memakai satu atau lebih lapisan identitas itu. Makanya itu kenapa kita bisa alim di satu saat dan bejat buat mabuk-mabukan di saat lainnya. Identitas itu penting coy, penting untuk ngebuat kita klik dan klop sama satu dimensi. Oia, dimensi itu maksudnya luas. Bisa tempat, kondisi, atau satu waktu tertentu. Masalah bisa muncul karena beberapa kebodohan.

Masalah yang paling sering adalah ketika lu salah memakai lapisan identitas lu. Harusnya heavy metal, lu malah milih lapisan yang heavy rotation. Harusnya alim lu malah bejat. Di sini bukan berarti lu gak punya sikap. Ini adalah pelajaran mengenai bagaimana lu memakai lapisan identitas lu. Bukan berarti plin-plan, lu justru dituntut buat lebih bijak dan dewasa. Lu justru harus punya sikap dulu buat nentuin mana identitasnya yang “GW BANGET” dalam menanggapi suatu dimensi khusus.

Masalah lainnya adalah masalah kelabilan dalam memilih lapisan identitas lu. Ini yang biasa dialami oleh ababil-ababil itu (gw juga mungkin salah satunya yaa. Hehe)

Ehh kok malah gw? Yasudahlah anggap saja gw labil. Nah gw tuh suka merasa salah dalam menempatkan diri. Misalnya di komunitas anak-anak band. Gw malah bicarain buku atau referensi musik yang cetek banget. Maksud hati sih biar keliatan klop gitu, tapi apa daya tangan tak sampai, malah keliatan blo’on. Setelah gw berefleksi dan bersemedi, ternyata ini beda sama masalah pertama. Kalau masalah pertama tadi kan di kesalahan memakai lapisan identitas, yang kedua lebih parah sih. Yaitu gw suka bingung menentukan identitas mana yang mesti gw pakai. Kalau di masalah pertama tadi dia sudah menentukan keputusan, cuma salah. Nah di yang kedua ini bahkan belum sampai tahap keputusan. Disinilah kelabilan muncul, ketika gw yang bingung akhirnya berganti-ganti identitas. Hehe..

Nah, gimana? Ada gunanya juga kan ilmu gw? Walau gak memberi solusi apa-apa, yaa senggaknya yang baca ini dapat ilmu baru lah. Bisa buat bahan ngeles kalau pacar ngoceh soal lu yang labil. Juga bisa dipakai sampe buat referensi UAS dengan syarat lu ngarang deh tuh ini pemikiran siapa. Ambil aja nama pemain-pemain bola atau basket yang lu tau. Misalnya Frank Lampard, Keith Kayamba, Andi Batam, atau siapa kek. Lu kutip tuh namanya, buat ngeyakinin dosen lu kalau lu beneran belajar. 

Percaya deh, dosen juga gak bakal ngecek siapa itu Keith Kayamba. Cuma kalau emang lagi sial bisa aja tuh dosen pas baca ujian lu, pas juga lagi nyetel ISL trus yang main Sriwijaya FC. Hehe. Tapi apapun itu, entah buat apa dan siapa, seenggaknya lu dapat sesuatu yang baru deh tulisan soal identitas ini. 

Last but not least, buat lu yang merasa labil dalam beridentitas. Gw sarain segeralah dewasa, matang, dan berwibawa untuk menentukan sikap lu. Gak ada manusia yang cuma punya satu identitas doang. Semua yang lu liat di TV, mulai dari Jupe, Depe, SID, bahkan Mpok Nori sekalipun itu gak seratus persen adalah identitas mereka. Mereka emang besar karena satu identitasnya. Itu yang lu perlukan dalam beridentitas. Untuk menentukan sikap. Identitas boleh banyak, tapi sebaiknya dalam setiap dimensi lu punya tanggepan yang “LU BANGET”. Lu harus punya kepribadian! Identitas harus banyak, tapi sikap lu juga harus matang. Jangan kaya gw yang menjadikan labil sebagai sebuah sikap. Gw labil karena punya alas an, bukan karena gw ababil. Gw labil sebab seperti kata dosen gw yang lain; tidak ada konsistensi kecuali inkonsistensi itu sendiri... Hehe..

Selamat berproses dan berimajinasi  wahai pembaca-pembacaku yang tersesat.

Minggu, 20 Mei 2012

Tawa...

 Banyak tawa yang menggema. Diantara orang-orang dipinggir jalan, di atas kursi-kursi birokrasi, ataupun dikandang sapi yang penuh tahi. Seperti irama dengan rima yang lesap dalam makna. Seperti mantra tanpa aturan baku yang terlihat pada budaya. Apapun itu, tawa mengandung makna. Entah semu atau nyata, tawa selalu ada. Dalam konsep atau definisi, ia selalu lahir. Tawa itu bermakna, berdefinisi, bertendensi, juga berbudaya. Seperti tawa puteri-puteri yang terkatup. Terbatas kebebasan yang tidak pernah bebas dari omong kosong kecantikan. Juga seperti tawa para penjaja baju yang berbunyi minor kepura-puraan dalam alunan nada mayor suatu harapan. Dalam satu kesatuan semuanya menggema, berbicara dalam bahasa yang mungkin tidak pernah dipahami. Kadang bermakna, kadang tidak. Tergantung otak si anak manusia yang maha tahu tentang alam semesta yang hanya sebesar imajinasinya yang sempit. Tergantung otak si anak manusia yang terhimpit harapan kehidupan tentang kepercayaan yang ragu-ragu dipercayanya. Tergantung otak si anak manusia yang kadang terlalu mempertanyakan semuanya dalam suara yang tidak mampu dikeluarkan dalam kesepakatan bahasa apapun di dunia ini. Tentang itu semua, sudahlah cukup. Semua bermula dari situ. Dari isi dan pemahaman didalam otak si anak manusia.

Dalam dunia yang cair semuanya bergerak. Tanpa henti dengan anak manusia yang diseret didalamnya. Tapi kau tahu kawan? Anak manusia benar-benar sok tahu. Benar-benar merasa bisa memadatkan kecairan itu. Mereka berdiskusi dengan langit tentang arti hidup, berusaha menyelam, mencari yang tak akan pernah ditemukan saat semakin dicari. Lalu ia akan berteori kembali. Menamakan pencarian itu agama. Menamakan proses itu cara dan miliknya. Lalu ia akan beridentitas. Penanda aku dan kamu, penanda sama dan tidak sama. Menjelma dalam pemikiran, dari lahir sampai mati. Ada yang lahir karena kesamaan dan mati karena perbedaan. Seperti anak kecil yang bertengkar karena mereka berbeda cara pencarian akan sang khalik. Bertengkar atas semua yang tidak diketahuinya. Bertengkar atas semua yang tidak perlu dipengtengkarkan. Sebab sejatinya mereka tak tahu apa yang dicari. Sayang, otak manusia kecil itu sudah terisi, sekecil itu, sedini itu. 

Otak itu semenjak kehadirannya di dunia ini sudah diisi. Terisi oleh beratnya alam semesta yang sebenarnya hampa tanpa kesoktahuan manusia. Tapi kau lihat itu kawan? Alam semesta yang hampa itu pun sudah tak ada. Hilang karena kesoktahuan manusia. Alam semesta dianggapnya berisi, berkenaan dengan semua kepentingannya. Dan kini, alam semesta itu benar-benar tak ada karena manusia kecil itu tak punya pilihan untuk mengenalnya sendiri selain dikenalkan oleh para manusia tua yang menganggap mengetahui alam semesta. Akhirnya, mereka akan menua dengan dua pilihan. Mempertentangkan alam semesta dalam pencariannya sampai mati. Atau sekedar melenyapkan alam semesta diotaknya sembari berkenalan dengannya sendiri yang semakin menua.

Diluar dua pilihan itu, tak mungkinkah anak manusia itu seperti anjing yang menyalak? Yang diabaikan namun tetap menyalak. Yang tidak mengisi alam semesta selain dengan suaranya yang diabaikan. Yang akan terus menyalak tanpa peduli gemanya sampai mana. Sayang sekali, anak manusia tidak seperti anjing. Ia tak bisa berbahasa dengan salakan yang bebas untuk didefinisikan. Ia terbiasa berbicara dengan kesepakatan tata bahasa, ejaan yang disempurnakan, ataupun cara-cara lain yang mengisi otaknya semenjak kecil. Tapi kawan, ingatkah kau bahwa anak manusia itu punya tawa? Yang seperti suara anjing dan lesap dalam ikatannya dengan budaya?  Tawa adalah puncak semuanya lepas dari inti masalah yang diciptakan otak anak manusia. Tawa berbicara dalam bahasa yang abstrak namun tetap dimengerti. Manusia yang bertengkar itu? Yang membeda walau sama? Tidakkah ia bisa menertawakan lucunya perbedaan? Menertawakan kesoktahuan otaknya akan alam semesta yang diciptakannya? Akhirnya aku bertanya padamu kawan, bisakah kau menertawai perbedaan? Berkenalan dengan kehampaan? Juga menertawai apa yang menjadi cara-cara kita berkenalan dengan alam semesta dan penciptanya? 

Tertawalah sebelum tawa itu dilarang... -WARKOP DKI-

Jumat, 25 Februari 2011

untuk kau yang bercengkrama dengan kegelapan.. dan untuk kau yang tersandar dalam pelukan malam..

aku tak tau tahu caramu menaklukan ini semua. cara kau yang menampakan kebahagiaan akan semua yang bagiku sungguh memuakkan. cara kau yang tersenyum simpul saat aku gagal berpenampilan. kau mampu menjadikan semua keluhkesah bagi mereka menjadi pemandangan indah, yang tersinar dari matamu. mungkin kau berbincang dengan malaikat tentang artinya keindahan. mungkin kau berdiskusi dengan Tuhan tetang artinya kegelisahan. atau mungkin kau berdebat dengan setan akan pentingnya kehadiran. tapi bagiku kaulah keindahan itu, kaulah kegelisahan itu, dan kaulah kehadiran itu. kau yang indah karena kau bercela. aku yang gelisah karena resah berpegang pada waktu. dan kau yang hadir dalam ketidakberdayaan semu. aku bukan pencerita ulung yang membuat kata sebagai senjata. aku juga bukan provokator yang mampu mengubah air menjadi api. aku hanya sepotong kecil keberadaanmu dikehidupan ini. sepotong kecil yang bisa terabaikan, terbuang, dan tersingkir. tapi aku berkata pada kau. terimakasi telah membuat semua ini bermakna. makna yang sebnarnya. makna yang terlampiaskan akan pentingnya perasaan. hingga pada akhirnya nanti aku dapat berkata bahwa aku pernah menjadi potongan kecil keberadaanmu :)

Kamis, 13 Januari 2011

Antitesis Sebuah Eksistensi

                Cerita ini akan bercerita mengenai sikap manusia untuk dianggap ada. Sebuah refleksi akan perjalanan malam tahun baru dari alun-alun selatan jogjakarta menuju ISI dengan total perjalanan 4 jam. Dari pukul 22.30 sampai 02.30, dari 2010 sampai 2011, dari keramaian sampai kesepian, dan dari keberadaan sampai ketidakberadaan.
                Keramaian dan eksistensi diri adalah dua hal yang mungkin tidak mau dan mampu dipisahkan. Hampir setiap manusia menerimanya sebagai kodrat. Lihat, siapa yang tidak ingin eksistensi dirinya melejit sampai batasan diri yang menghapus angan-angan itu. Entah dalam keterkenalan sebagai artis hingga sebagai preman pasar. Entah dari pemenang kompetisi menyanyi hingga peniup terompet paling kencang pada malam tahun baru. Selalu ada kompetisi eksistensi diri yang bergumul dalam keramaian. Saya dan dua teman saya menyadari itu pada malam tahun baru. Kemuakan akan keramaian dan kemuakan akan kompetisi eksistensi tanpa ujung yang jelas membawa kami pada antitesis akan kerangka umum pikiran manusia. Kami ingin menarik diri dari kompetisi, berjalan dalam jalan kami sendiri, dan menemukan keberadaan dari kompetisi yang lain dan dengan cara yang lain.
                Perjalanan tanpa menuju keramaian adalah salah satu caranya bagi saya. Tetapi dalam hati kecil ini tetap saja saya ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan, entah sekecil apapun itu. Sebuah aksi tanpa esensi hanyalah akan menjadi kenang-kenangan, seperti sebuah anekdot klise akan kehidupan tanpa kepedulian. Teringat pada pidato yang dilakukan oleh Bung Karno mengenai salam sayapun berpikir.
 Dalam pidatonya Bung Karno menyampaikan “salam” adalah sesuatu yang penting. Bagi saya kepentingan salam terletak pada kekuatannya untuk memulai bangunan kehidupan. Orang Islam membangun kehidupan dengan Assalamualaikum, orang Batak membangun kehidupan  dengan Horas, dan saya pada malam itu ingin membangun kehidupan dengan Selamat tahun baru. Teori aksi-reaksi terjadi malam itu. Mungkin suatu hal yang aneh melihat tiga orang anak muda berjalan dipinggir jalan pada malam tahun baru dan mengucapkan selamat tahun baru pada setiap orang dijalan. Tetapi menjadi sangat manis saat melihat apa yang mereka lakukan kepada kami. Sebuah senyuman yang tulus kami terima pada malam tahun baru itu, sebuah langkah yang indah dalam mengawali tahun 2011, dan sebuah momentum dalam membangun kehidupan.
 Kekuatan salam, senyuman yang tulus, kaki yang pegal, dan keringat yang membasahi punggung menjadi pengisi malam tahun baru kemarin. Menjadi sebuah hal yang antitesis akan eksistensi dalam keramaian. Mereka semua diluar sana berkata budaya yang bobrok harus diubah, tetapi mereka tenggelam dalam gemerlap pusat perbelanjaan dan menikmati diskon produk yang mereka caci. Mereka semua diluar sana berkata anak muda harus mengubah keadaan dan memperbaikinya, tetapi mereka hanya meniup terompet sementara banyak orang bahkan tidak mampu membelinya. Yaa, itu mereka dan ini saya. Bagi saya senyuman tulus mereka lebih kencang suaranya dari dentuman kembang api, lebih nyaring dari bisingnya teromepet, dan lebih indah dari eksistensi ditengah keramaian. Sebuah senyuman yang membuat saya percaya, kebahagiaan akan keberadaan tidak akan pernah mampu direbut siapapun. Entah itu keberadaan tukang tambal ban ataupun keberadaan pejabat dalam balutan pesta kekuasannnya.

Sabtu, 04 Desember 2010

Jingle

Siang itu Jogja memang sangat panas, kondisi yang kondusif untuk ngobrol panjang lebar sembari menunggu awan menutupi sang mentari. Diselingi canda dan tawa kami bicara mengenai banyak hal. Hal penting maupun tidak penting (jujur, kebanyakan tidak pentingnya). Obrolan itu terjadi disebuah warung makan. Modal kami siang itu untuk ngobrol hanya 2, yaitu sedikit uang untuk makan (tentu tanpa pesan minum, sebab ada air putih yang gratis..) dan muka tebal saat pelayan ngalor-ngidul berusaha mengusir kami. Ada satu topik yang ingin saya angkat dari obrolan itu. Jingle. Yaa, beberapa rentetan nada dan beberapa patah kata yang mewakili suatu produk (biasanya di-iklan).

Jingle adalah sebuah representasi sebuah produk guna membuat setiap orang ingat akan produk itu. Entah bagaimana cara kerjanya tapi jingle menjadi satu alat yang efektif. Tak terhitung sudah berapa banyak jingle yang “diklaim” mewakili sebuah produk di dunia. Dalam kancah per-susu-an saja tentu anda ingat dengan “Susu saya susu bendera..” , “Aku dan kau suka dancow”, “susu murni nasional”, hingga jingle yang mungkin sedikit menganggap orang kita bodoh yaitu “yang penting enak..”. Itu baru dunia per-susu-an dengan jingle-jinglenya.

Ada pula produk yang membuat jingle tanpa lirik. Di barisan terdepan saya ingat ada jingle es krim wall’s dengan nadanya yang sangat familiar. Sampai sekarang saya masih suka es krim wall’s . ada 2 alasan mengapa saya suka membelinya. Waktu kecil saya suka membeli karena “termakan” nadanya yang bagus. Dulu saya sampai iri kepada abang-abang yang menjual es krim itu, saya sering membayangkan pastilah abang itu tidurnya sangat nyenyak sambil tersenyum karena terngiang-ngiang bunyi itu. Tetapi sekarang saya merasa kasihan kepada abangnya, bisa dibayangkan sepanjang hari mendengar bunyi itu sampai terbawa ke mimpi. Maka kalaupun saya membeli es krim keliling itu sekedar untuk mengobati kuping si abang yang pasti sama soaknya dengan toak kecil di atas gerobak sepedanya itu.

Setelah saya pikir-pikir bukan produk besar saja yang mempunyai “jingle”. Produk kecil yang dijajakan secara keliling juga memiliki jingle untuk merepresentasikan produknya. Misalnya tukang minyak dengan “mi-NYAKKKK(baca: “mi” lesap dan “nyakkk”-nya dengan nada dari rendah ke tinggi), begitu juga dengan tukang sol sepatu dengan “sol-spatukk..”, ada pula tukang bakso, siomay, dan nasi goreng yang mempunyai jingle-nya masing-masing dengan ketokannya kepada piring atau wajan dengan tempo yang berbeda, atau bahkan tukang tape uli (tape dari ketan yang dibungkus daun pisang) yang sering saya insengi waktu kecil dulu. Bila saya sedang bermain di lapangan lalu ada tukang tape uli berteriak, “tape uli... tape uli...” maka kami anak-anak badung ini kompak berteriak melanjutkan “capek-capek gak ada yang beli..” dan sejurus kemundian lari menghambur menyelamatkan diri dari omelan abang penjualnya.

Yaa, itulah jingle. Perlu analisis dari pakar komunikasi secara mendalam untuk mengetahui siapa biang keladi dibalik pembuatannya. Dari tradisional hingga modern, ada keunikan tersendiri. Terlebih untuk pada jingle-ers tradisional (sol sepatu, minyak, dan nasgor) seolah-olah ada konsensus di antara mereka sehingga dari daerah ke daerah jingle-nya hampir sama. Ada bentuk komunikasi yang unik dan mampu merasuki pikiran konsumen tanpa ada perempuan molek untuk berdiri di samping produk (seperti di pameran mobil). Itulah iklan terefektif menurut saya. Saat produk sampai dan terngiang-ngiang tanpa sadar oleh para konsumennya. Jadi itulah saya dengan jingle-jingle kenangan saya.

Bagaimana dengan anda? Apa jingle favorit anda? Dan apa jingle hidup anda untuk diteruskan ke generasi selanjutnya? Semoga saja bukan jingle yang akan terlupakan, tapi abadi dan bertahan di setiap pergolakan jaman. Seperti jingle minyak yang selalu bertahan walau minyak sudah dikonversi ke tabung gas.