Minggu, 20 Mei 2012

Tawa...

 Banyak tawa yang menggema. Diantara orang-orang dipinggir jalan, di atas kursi-kursi birokrasi, ataupun dikandang sapi yang penuh tahi. Seperti irama dengan rima yang lesap dalam makna. Seperti mantra tanpa aturan baku yang terlihat pada budaya. Apapun itu, tawa mengandung makna. Entah semu atau nyata, tawa selalu ada. Dalam konsep atau definisi, ia selalu lahir. Tawa itu bermakna, berdefinisi, bertendensi, juga berbudaya. Seperti tawa puteri-puteri yang terkatup. Terbatas kebebasan yang tidak pernah bebas dari omong kosong kecantikan. Juga seperti tawa para penjaja baju yang berbunyi minor kepura-puraan dalam alunan nada mayor suatu harapan. Dalam satu kesatuan semuanya menggema, berbicara dalam bahasa yang mungkin tidak pernah dipahami. Kadang bermakna, kadang tidak. Tergantung otak si anak manusia yang maha tahu tentang alam semesta yang hanya sebesar imajinasinya yang sempit. Tergantung otak si anak manusia yang terhimpit harapan kehidupan tentang kepercayaan yang ragu-ragu dipercayanya. Tergantung otak si anak manusia yang kadang terlalu mempertanyakan semuanya dalam suara yang tidak mampu dikeluarkan dalam kesepakatan bahasa apapun di dunia ini. Tentang itu semua, sudahlah cukup. Semua bermula dari situ. Dari isi dan pemahaman didalam otak si anak manusia.

Dalam dunia yang cair semuanya bergerak. Tanpa henti dengan anak manusia yang diseret didalamnya. Tapi kau tahu kawan? Anak manusia benar-benar sok tahu. Benar-benar merasa bisa memadatkan kecairan itu. Mereka berdiskusi dengan langit tentang arti hidup, berusaha menyelam, mencari yang tak akan pernah ditemukan saat semakin dicari. Lalu ia akan berteori kembali. Menamakan pencarian itu agama. Menamakan proses itu cara dan miliknya. Lalu ia akan beridentitas. Penanda aku dan kamu, penanda sama dan tidak sama. Menjelma dalam pemikiran, dari lahir sampai mati. Ada yang lahir karena kesamaan dan mati karena perbedaan. Seperti anak kecil yang bertengkar karena mereka berbeda cara pencarian akan sang khalik. Bertengkar atas semua yang tidak diketahuinya. Bertengkar atas semua yang tidak perlu dipengtengkarkan. Sebab sejatinya mereka tak tahu apa yang dicari. Sayang, otak manusia kecil itu sudah terisi, sekecil itu, sedini itu. 

Otak itu semenjak kehadirannya di dunia ini sudah diisi. Terisi oleh beratnya alam semesta yang sebenarnya hampa tanpa kesoktahuan manusia. Tapi kau lihat itu kawan? Alam semesta yang hampa itu pun sudah tak ada. Hilang karena kesoktahuan manusia. Alam semesta dianggapnya berisi, berkenaan dengan semua kepentingannya. Dan kini, alam semesta itu benar-benar tak ada karena manusia kecil itu tak punya pilihan untuk mengenalnya sendiri selain dikenalkan oleh para manusia tua yang menganggap mengetahui alam semesta. Akhirnya, mereka akan menua dengan dua pilihan. Mempertentangkan alam semesta dalam pencariannya sampai mati. Atau sekedar melenyapkan alam semesta diotaknya sembari berkenalan dengannya sendiri yang semakin menua.

Diluar dua pilihan itu, tak mungkinkah anak manusia itu seperti anjing yang menyalak? Yang diabaikan namun tetap menyalak. Yang tidak mengisi alam semesta selain dengan suaranya yang diabaikan. Yang akan terus menyalak tanpa peduli gemanya sampai mana. Sayang sekali, anak manusia tidak seperti anjing. Ia tak bisa berbahasa dengan salakan yang bebas untuk didefinisikan. Ia terbiasa berbicara dengan kesepakatan tata bahasa, ejaan yang disempurnakan, ataupun cara-cara lain yang mengisi otaknya semenjak kecil. Tapi kawan, ingatkah kau bahwa anak manusia itu punya tawa? Yang seperti suara anjing dan lesap dalam ikatannya dengan budaya?  Tawa adalah puncak semuanya lepas dari inti masalah yang diciptakan otak anak manusia. Tawa berbicara dalam bahasa yang abstrak namun tetap dimengerti. Manusia yang bertengkar itu? Yang membeda walau sama? Tidakkah ia bisa menertawakan lucunya perbedaan? Menertawakan kesoktahuan otaknya akan alam semesta yang diciptakannya? Akhirnya aku bertanya padamu kawan, bisakah kau menertawai perbedaan? Berkenalan dengan kehampaan? Juga menertawai apa yang menjadi cara-cara kita berkenalan dengan alam semesta dan penciptanya? 

Tertawalah sebelum tawa itu dilarang... -WARKOP DKI-