Jerome secara
singkat membagi pemaparannya dalam tiga bagian, cara pemaparan yang menurutnya
sangat Prancis sekali. Bagian pertama tentang apa itu “malam”. Kedua tentang
data. Ketiga tentang analisis. Lupakan sejenak yang kedua dan yang ketiga. Data
dan analisis adalah makanan yang hambar tanpa bagian pertama yang mengasyikkan
itu. Bukankah yang pertama sering kali lebih dikenang? Jerome yang sangat
Prancis itu ternyata mampu (setidaknya buat saya) menyadarkan bagaimana
masyarakat Jakarta bercermin pada sesuatu yang salah. Mungkin saja saat ini
cermin itu buram atau sedang dipinjam oleh tukang cukur rambut. Apapun itu ia menyodorkan kaca yang lebih
jernih. Sehingga saya bisa melihat tumbuhnya jerawat – hal remeh yang
sebelumnya tak pernah diberi alokasi untuk dipermasalahkan.
Jerawat itu
adalah malam. Yaa.. Jerome bicara tentang “malam”. Satu hal yang ada; dilewati
tapi dilewatkan. Malam menjadi semacam misteri, seperti jerawat yang entah
muncul darimana. Di dekat ekuator ini, malam tak berdiri. Mungkin ia duduk,
terlentang, atau berbaring melintangi ragam cerita. Di sini, malam adalah gelap
dan gelap adalah malam. Gelap adalah misteri, maka malam juga misteri.
Ketika hari
dibagi dua, terang dan gelap. Ketika batas tidak bias, seperti anak yang
dipanggil dari mainnya oleh sayup-sayup adzan maghrib. Batas itu jelas,
seketika misteri dipertegas. Bila terang dan gelap adalah materi yang niscaya,
mungkin siang dan malam adalah persepsi. Mungkin bisa juga disebut diskursus, wacana,
atau istilah apapun yang dapat kau temukan..
Malam adalah
waktunya kontrak damai dipenuhi. Selama pelajur jalanan dapat berguling mesra
dengan aparat yang keparat, selama pedagang masih bisa diperah oleh mereka yang
berkuasa, dan selama obat-obatan dapat diundi di meja perjudian, maka
“pengertian” masih ada. Sama-sama tahu, lalu sama-sama menjadi (sok) tak tahu. Semuanya dimulai
bersamaan dengan dimatikannya matahari.
Kehadiran cahaya lampu-lampu minyak di warung menjadi ikrar perdamaian
dengan misteri. Misteri yang terus dipelihara untuk menjadi misteri.
Bila misteri
identik dengan gelap, bukankah gelap pun teman peristirahatan dalam malam? Lalu
apa itu malam ketika dirinya bukan sekedar gelap dan misteri? Malam di sini
bukan malam di desa maupun di Eropa, ketika toko-toko tutup tepat waktu, ketika
orang-orang pulang ke rumah setelah memeras keringat seharian, bukan pula
ketika lonceng batas jam malam dibunyikan. Lalu apa itu malam? Kalau benar
malam itu gelap, bukankah itu naïf? Senaif kita yang rindu malam dan terpejam
untuk bertemu malam?
Saya limbung
tentang kata ini, “malam”. Saya sebatas tahu malam adalah persepsi yang
misterius. Namun saya beruntung. Oleh manusia misteri dicintai. Dipelihara
melalui opini dan saksi. Lesap dan lenyap, terbang menjauhi manusia. Dibuat
manusia namun kini membuat manusia. Tak berani keluar ketika malam? Tak berani
naik angkot ketika malam? Tak berani kencing sendiri ketika malam? Sekali lagi
malam adalah rumah misteri. Tak perlu dingkari, bukankah kini gelap dan misteri
milik malam justru diisi?
Dalam persepsi
tentang malam yang mengancam, lampu dan kentongan menjadi penawar. Pengaman
visual dan eksistensi yang ditebar. Tak cukup tentang rasa aman dalam terang,
bubuhan kehadiran dilakoni dalam bebunyian. Gelap, malam, dan ancaman, tak
semata-mata tentang penglihatan, tapi juga tentang kehadiran diri.
Lalu.. apa itu
malam?
Dalam perjalanan
pulang dari Salihara, saya bertanya pada supir taxi yang mengantar tentang
malam. Jawabnya..
“Lebih enak malam, lebih adem, lebih santai”
Saya terdiam,
memikirkan semua tentang malam yang mengancam, yang gelap, dan yang misterius.
Namun yang muncul justru malam yang santai.
Ingin terus saya
kejar jawaban supir taxi itu. Tetapi ada keengganan yang menghentikan kegilaan
ditepi kerongkongan. Saya hanya mengangguk tanpa tahu apa yang disetujui,
tersenyum kecil tanpa tahu apa yang lucu, dan kemudian... bingung.