Minggu, 16 Juni 2013

Malam

Jakarta adalah metronom kegilaan nasional. Saat kota lain masih mencari cacing di tepi sungai, Jakarta telah bertemu kemacetan yang mengular. Saat daerah lain hanya mampu bertemu rindu dengan aspal di bandara, Jakarta sudah bosan dengan aspal dan mulai menanam pohon pisang di antara aspal yang berlubang. Jakarta adalah anomali. Jakarta keras? Mungkin saja. Tetapi Jakara juga lunak, penuh pengertian, dan tumbuh secara organik tanpa sekat birokrasi yang melilit. Simsalabim, ini bukan sulap, Jakarta memang pengertian bagi isinya; formal – informal tak ada beda. Dalam kamus Jakarta semua obat tak ada yang seampuh “pengertian”, dan wow.. saya terpukau bahwa ibu kota ini penuh pengertian. Lalu saya pun lebih tercekat lagi bahwa itu – setidaknya salah satu dari banyak – kesimpulan dari diskusi berjudul “Kehidupan Malam Jakarta” oleh Jerome di Salihara beberapa hari yang lalu.

Jerome secara singkat membagi pemaparannya dalam tiga bagian, cara pemaparan yang menurutnya sangat Prancis sekali. Bagian pertama tentang apa itu “malam”. Kedua tentang data. Ketiga tentang analisis. Lupakan sejenak yang kedua dan yang ketiga. Data dan analisis adalah makanan yang hambar tanpa bagian pertama yang mengasyikkan itu. Bukankah yang pertama sering kali lebih dikenang? Jerome yang sangat Prancis itu ternyata mampu (setidaknya buat saya) menyadarkan bagaimana masyarakat Jakarta bercermin pada sesuatu yang salah. Mungkin saja saat ini cermin itu buram atau sedang dipinjam oleh tukang  cukur rambut. Apapun itu ia menyodorkan kaca yang lebih jernih. Sehingga saya bisa melihat tumbuhnya jerawat – hal remeh yang sebelumnya tak pernah diberi alokasi untuk dipermasalahkan.

Jerawat itu adalah malam. Yaa.. Jerome bicara tentang “malam”. Satu hal yang ada; dilewati tapi dilewatkan. Malam menjadi semacam misteri, seperti jerawat yang entah muncul darimana. Di dekat ekuator ini, malam tak berdiri. Mungkin ia duduk, terlentang, atau berbaring melintangi ragam cerita. Di sini, malam adalah gelap dan gelap adalah malam. Gelap adalah misteri, maka malam juga misteri.
Ketika hari dibagi dua, terang dan gelap. Ketika batas tidak bias, seperti anak yang dipanggil dari mainnya oleh sayup-sayup adzan maghrib. Batas itu jelas, seketika misteri dipertegas. Bila terang dan gelap adalah materi yang niscaya, mungkin siang dan malam adalah persepsi. Mungkin bisa juga disebut diskursus, wacana, atau istilah apapun yang dapat kau temukan..

Malam adalah waktunya kontrak damai dipenuhi. Selama pelajur jalanan dapat berguling mesra dengan aparat yang keparat, selama pedagang masih bisa diperah oleh mereka yang berkuasa, dan selama obat-obatan dapat diundi di meja perjudian, maka “pengertian” masih ada. Sama-sama tahu, lalu sama-sama menjadi  (sok) tak tahu. Semuanya dimulai bersamaan dengan dimatikannya matahari.  Kehadiran cahaya lampu-lampu minyak di warung menjadi ikrar perdamaian dengan misteri. Misteri yang terus dipelihara untuk menjadi misteri.

Bila misteri identik dengan gelap, bukankah gelap pun teman peristirahatan dalam malam? Lalu apa itu malam ketika dirinya bukan sekedar gelap dan misteri? Malam di sini bukan malam di desa maupun di Eropa, ketika toko-toko tutup tepat waktu, ketika orang-orang pulang ke rumah setelah memeras keringat seharian, bukan pula ketika lonceng batas jam malam dibunyikan. Lalu apa itu malam? Kalau benar malam itu gelap, bukankah itu naïf? Senaif kita yang rindu malam dan terpejam untuk bertemu malam?

Saya limbung tentang kata ini, “malam”. Saya sebatas tahu malam adalah persepsi yang misterius. Namun saya beruntung. Oleh manusia misteri dicintai. Dipelihara melalui opini dan saksi. Lesap dan lenyap, terbang menjauhi manusia. Dibuat manusia namun kini membuat manusia. Tak berani keluar ketika malam? Tak berani naik angkot ketika malam? Tak berani kencing sendiri ketika malam? Sekali lagi malam adalah rumah misteri. Tak perlu dingkari, bukankah kini gelap dan misteri milik malam justru diisi?

Dalam persepsi tentang malam yang mengancam, lampu dan kentongan menjadi penawar. Pengaman visual dan eksistensi yang ditebar. Tak cukup tentang rasa aman dalam terang, bubuhan kehadiran dilakoni dalam bebunyian. Gelap, malam, dan ancaman, tak semata-mata tentang penglihatan, tapi juga tentang kehadiran diri.

Lalu.. apa itu malam?

Dalam perjalanan pulang dari Salihara, saya bertanya pada supir taxi yang mengantar tentang malam. Jawabnya..

“Lebih enak malam, lebih adem, lebih santai”

Saya terdiam, memikirkan semua tentang malam yang mengancam, yang gelap, dan yang misterius. Namun yang muncul justru malam yang santai.

Ingin terus saya kejar jawaban supir taxi itu. Tetapi ada keengganan yang menghentikan kegilaan ditepi kerongkongan. Saya hanya mengangguk tanpa tahu apa yang disetujui, tersenyum kecil tanpa tahu apa yang lucu, dan kemudian... bingung.