Jumat, 25 Februari 2011

untuk kau yang bercengkrama dengan kegelapan.. dan untuk kau yang tersandar dalam pelukan malam..

aku tak tau tahu caramu menaklukan ini semua. cara kau yang menampakan kebahagiaan akan semua yang bagiku sungguh memuakkan. cara kau yang tersenyum simpul saat aku gagal berpenampilan. kau mampu menjadikan semua keluhkesah bagi mereka menjadi pemandangan indah, yang tersinar dari matamu. mungkin kau berbincang dengan malaikat tentang artinya keindahan. mungkin kau berdiskusi dengan Tuhan tetang artinya kegelisahan. atau mungkin kau berdebat dengan setan akan pentingnya kehadiran. tapi bagiku kaulah keindahan itu, kaulah kegelisahan itu, dan kaulah kehadiran itu. kau yang indah karena kau bercela. aku yang gelisah karena resah berpegang pada waktu. dan kau yang hadir dalam ketidakberdayaan semu. aku bukan pencerita ulung yang membuat kata sebagai senjata. aku juga bukan provokator yang mampu mengubah air menjadi api. aku hanya sepotong kecil keberadaanmu dikehidupan ini. sepotong kecil yang bisa terabaikan, terbuang, dan tersingkir. tapi aku berkata pada kau. terimakasi telah membuat semua ini bermakna. makna yang sebnarnya. makna yang terlampiaskan akan pentingnya perasaan. hingga pada akhirnya nanti aku dapat berkata bahwa aku pernah menjadi potongan kecil keberadaanmu :)

Kamis, 13 Januari 2011

Antitesis Sebuah Eksistensi

                Cerita ini akan bercerita mengenai sikap manusia untuk dianggap ada. Sebuah refleksi akan perjalanan malam tahun baru dari alun-alun selatan jogjakarta menuju ISI dengan total perjalanan 4 jam. Dari pukul 22.30 sampai 02.30, dari 2010 sampai 2011, dari keramaian sampai kesepian, dan dari keberadaan sampai ketidakberadaan.
                Keramaian dan eksistensi diri adalah dua hal yang mungkin tidak mau dan mampu dipisahkan. Hampir setiap manusia menerimanya sebagai kodrat. Lihat, siapa yang tidak ingin eksistensi dirinya melejit sampai batasan diri yang menghapus angan-angan itu. Entah dalam keterkenalan sebagai artis hingga sebagai preman pasar. Entah dari pemenang kompetisi menyanyi hingga peniup terompet paling kencang pada malam tahun baru. Selalu ada kompetisi eksistensi diri yang bergumul dalam keramaian. Saya dan dua teman saya menyadari itu pada malam tahun baru. Kemuakan akan keramaian dan kemuakan akan kompetisi eksistensi tanpa ujung yang jelas membawa kami pada antitesis akan kerangka umum pikiran manusia. Kami ingin menarik diri dari kompetisi, berjalan dalam jalan kami sendiri, dan menemukan keberadaan dari kompetisi yang lain dan dengan cara yang lain.
                Perjalanan tanpa menuju keramaian adalah salah satu caranya bagi saya. Tetapi dalam hati kecil ini tetap saja saya ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan, entah sekecil apapun itu. Sebuah aksi tanpa esensi hanyalah akan menjadi kenang-kenangan, seperti sebuah anekdot klise akan kehidupan tanpa kepedulian. Teringat pada pidato yang dilakukan oleh Bung Karno mengenai salam sayapun berpikir.
 Dalam pidatonya Bung Karno menyampaikan “salam” adalah sesuatu yang penting. Bagi saya kepentingan salam terletak pada kekuatannya untuk memulai bangunan kehidupan. Orang Islam membangun kehidupan dengan Assalamualaikum, orang Batak membangun kehidupan  dengan Horas, dan saya pada malam itu ingin membangun kehidupan dengan Selamat tahun baru. Teori aksi-reaksi terjadi malam itu. Mungkin suatu hal yang aneh melihat tiga orang anak muda berjalan dipinggir jalan pada malam tahun baru dan mengucapkan selamat tahun baru pada setiap orang dijalan. Tetapi menjadi sangat manis saat melihat apa yang mereka lakukan kepada kami. Sebuah senyuman yang tulus kami terima pada malam tahun baru itu, sebuah langkah yang indah dalam mengawali tahun 2011, dan sebuah momentum dalam membangun kehidupan.
 Kekuatan salam, senyuman yang tulus, kaki yang pegal, dan keringat yang membasahi punggung menjadi pengisi malam tahun baru kemarin. Menjadi sebuah hal yang antitesis akan eksistensi dalam keramaian. Mereka semua diluar sana berkata budaya yang bobrok harus diubah, tetapi mereka tenggelam dalam gemerlap pusat perbelanjaan dan menikmati diskon produk yang mereka caci. Mereka semua diluar sana berkata anak muda harus mengubah keadaan dan memperbaikinya, tetapi mereka hanya meniup terompet sementara banyak orang bahkan tidak mampu membelinya. Yaa, itu mereka dan ini saya. Bagi saya senyuman tulus mereka lebih kencang suaranya dari dentuman kembang api, lebih nyaring dari bisingnya teromepet, dan lebih indah dari eksistensi ditengah keramaian. Sebuah senyuman yang membuat saya percaya, kebahagiaan akan keberadaan tidak akan pernah mampu direbut siapapun. Entah itu keberadaan tukang tambal ban ataupun keberadaan pejabat dalam balutan pesta kekuasannnya.